Konon
manusia yang turun ke bumi, telah dibekali dengan aturan keagamaan yang
disebut aluk. Aluk merupakan aturan keagamaan yang menjadi sumber dari
budaya dan pandangan hidup leluhur suku Toraja yang mengandung
nilai-nilai religius yang mengarahkan pola-pola tingkah laku hidup dan
ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang Matua.
Cerita tentang perkembangan dan penyebaran Aluk terjadi dalam lima tahap, yakni: Tipamulanna Aluk ditampa dao langi' yakni permulaan penciptaan Aluk diatas langit, Mendemme' di kapadanganna yakni Aluk diturunkan ke bumi oleh Puang Buru Langi’ Dirura.
Kedua
tahapan ini lebih merupakan mitos. Dalam penelitian pada hakekatnya
aluk merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran dari dataran
Indo Cina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum Masehi.
Beberapa Tokoh penting dalam penyebaran aluk, antara lain: Tomanurun Tambora Langi' adalah pembawa aluk Sabda Saratu' yang mengikat penganutnya dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.
Selain daripada itu terdapat Aluk Sanda Pitunna disebarluaskan
oleh tiga tokoh, yaitu : Pongkapadang bersama Burake Tattiu' menuju
bagian barat Tana Toraja yakni ke Bonggakaradeng, sebagian Saluputti,
Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba'bana Minanga, dengan
membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja "To Unnirui'
suke pa'pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata sosial yang tidak
mengenal strata. Kemudian Pasontik bersama Burake Tambolang menuju ke
daerah-daerah sebelah timur Tana Toraja, yaitu daerah Pitung Pananaian,
Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta'bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu
Selatan dan Utara dengan membawa pranata sosial yang disebut dalam
bahasa Toraja : "To Unnirui' suku dibonga, To unkandei kandean pindan",
yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga
strata sosial.
Tangdilino
bersama Burake Tangngana ke daerah bagian tengah Tana Toraja dengan
membawa pranata sosial "To unniru'i suke dibonga, To ungkandei kandean
pindan", Tangdilino diketahui menikah dua kali, yaitu dengan Buen Manik,
perkawinan ini membuahkan delapan anak. Perkawinan Tangdilino dengan
Salle Bi'ti dari Makale membuahkan seorang anak.
Kesembilan
anak Tangdilino tersebar keberbagai daerah, yaitu Pabane menuju Kesu',
Parange menuju Buntao', Pasontik ke Pantilang, Pote'Malla ke Rongkong
(Luwu), Bobolangi menuju Pitu Ulunna Salu Karua Ba'bana Minanga, Bue ke
daerah Duri, Bangkudu Ma'dandan ke Bala (Mangkendek), Sirrang ke Dangle.
Itulah
yang membuat seluruh Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo diikat
oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan
Tana Matari' Allo arti harfiahnya adalah "Negri yang bulat seperti bulan dan Matahari".
Nama ini mempunyai latar belakang yang bermakna, persekutuan negeri
sebagai satu kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini
dikarenakan Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa
tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri dari kelompok adat yang
diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada sekitar 32 pemangku
adat di Toraja.
Karena
perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah nama
perserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup
dan keyakinan sebagai pengikat seluruh daerah dan kelompok adat
tersebut.
Konon bentuk tongkonan menyerupai perahu kerajaan Cina jaman dahulu
Terik
sinar matahari terasa semakin menyengat mata pada saat dipantulkan oleh
papan berwarna merah yang menopang sebuah bangunan dengan bentuknya bak
perahu kerajaan cina, guratan pisau rajut merajut di atas papan
benwarna merah membentuk ukiran sebagai pertanda status sosial pemilik
bangunan, ditambah lagi oleh deretan tanduk kerbau yang
terpasang/digantung di depan rumah, semakin menambah keunikan bangunan
yang terbuat dari kayu tersebut. Bentuk bangunan unik yang dapat
dijumpai dihampir setiap pekarangan rumah masyarakat Toraja ini, lebih
dikenal dengan sebutan nama Tongkonan.
Konon kata Tongkonan berasal dari istilah "tongkon"
yang berarti duduk, dahulu rumah ini merupakan pusat pemerintahan,
kekuasaan adat dan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Tana
Toraja. Rumah ini tidak bisa dimiliki oleh perseorangan, melainkan
dimiliki secara turun-temurun oleh keluarga atau marga suku Tana Toraja.
Dengan sifatnya yang demikian, tongkonan mempunyai beberapa fungsi,
antara lain: pusat budaya, pusat pembinaan keluarga, pembinaan peraturan
keluarga dan kegotongroyongan, pusat dinamisator, motivator dan
stabilisator sosial.
Oleh
karena Tongkonan mempunyai kewajiban sosial dan budaya yang juga
bertingkat-tingkat dimasyarakat, maka dikenal beberapa jenis tongkonan,
antara lain yaitu Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio' Aluk, yaitu
Tongkonan tempat menciptakan dan menyusun aturan-aturan sosial
keagamaan.
Tongkonan Pekaindoran atau Pekamberan atau Tongkonan kaparengngesan
Yaitu
Tongkonan yang satu ini berfungsi sebagai tempat pengurus atau pengatur
pemerintahan adat, berdasarkan aturan dari Tongkonan Pesio' Aluk.
Tongkonan Batu A'riri
Yang
berfungsi sebagai tongkonan penunjang. Tongkonan ini yang mengatur dan
berperan dalam membina persatuan keluarga serta membina warisan
tongkonan. Tongkonan merupakan peninggalan yang harus dan selalu
dilestarikan, hampir seluruh Tongkonan di Tana Toraja sangat menarik
untuk dikunjungi sehingga bisa mengetahui sejauh mana adat istiadat
masyarakat Toraja, serta banyak sudah Tongkonan yang menjadi objek
wisata.
Tongkonan Marimbunna
Tongkonan
tersebut terletak dikelurahan Tikala, sekitar 6 Km arah utara Rantepao.
Marimbunna, merupakan nama dari orang pertama yang datang di daerah
ini. Mempunyai daya tarik berupa peninggalan-peninggalan Marimbunna,
yaitu: rumah sekaligus tempat mandi yang letaknya berada di atas karang,
liang batu yang proses pembuatannya dipahat dengan menggunakan kayu
serta ada juga kuburan Marimbunna yang diukir berbentuk perahu dan
kerbau berdiri. Di sini kita juga dapat menjumpai jasad Marinbunna, yang
tinggal tulangnya saja namun rambutnya tetap menempel di dahinya.
Benteng Batu
Benteng
Batu adalah nama perkampungan asli orang Baruppu. Perkampungan ini
terletak di Kecamatan Rindingallo, dengan jarak kurang lebih 50 Km arah
utara Rantepao, didaerah ini seluruh wilayahnya dikelilingi oleh tebing.
Sehingga otomatis keberadaannya terisolir dari dunia luar, untuk dapat
masuk ke daerah tersebut hanya bisa melewati satu jalan yakni sebuah
lorong batu yang memiliki daya tarik tersendiri. Tebing-tebing yang
mengeliligi daerah ini masing-masing diberi nama, antara lain: Tebing
batu, Kavu Angin dan Benteng Saji. Selain pemah dipakai untuk benteng
pertahanan melawan Belanda, di tebing-tebing tersebut, terdapat kuburan
dalam bentuk liang pahat maupun gua alam yang ada jasadnya. Pada setiap
tahunnya, diadakan prosesi ritual penggantian pakaian jenazah yang
disebut dengan to'ma' nene.
Tongkonan Bate-Banbalu
Tongkonan
Bate-Bambalu terletak di Kecamatan Sa'dan Balusu, dengan jarak tempuh
sekitar 2,5 Km arah timur Palopo. Didirikan sekitar abad X Masehi dan
merupakan tongkonan tertua di daerah tersebut. Didirikan oleh seorang
yang bernama Tanditonda, yang merupakan nenek moyang penduduk disana.
Mitos yang ada menyebutkan bahwa Tanditonda adalah orang yang kaya akan
kerbau dan gemar minum susu kerbau, hingga suatu saat susu-susu
kerbaunya hilang dicuri orang, yang ternyata kelak si pencuri itu
menjadi istrinya. Sebelum menikah dengan perempuan yang bernama Manurun
Di Batara tersebut, mereka membuat kesepakatan bahwa Tangditonda tidak
boleh memukul istrinya. Namun suatu saat janji itu dilanggarnya,
istrinya yang sebenarnya dewa itu akhirnya meninggalkannya menuju
langit, jalan lewat pelangi, dengan meninggalkan rumah tongkonannya, dan
juga tenun yang belum selesai.
Tongkonan Siguntu'
Tongkonan
Siguntu' terletak di Dusun Kadundung, Desa Nonongan Kecamatan
Sanggalangi'. Dengan jarak sekitar 5 Km dari kota Rantepao, tongkonan
yang unik ini dibangun oleh Pongtanditulaan. Keberadaannya yang di atas
sebuah bukit menyajikan pemandangan alam yang indah mempesona, dengan
dikelilingi hamparan sawah pada bagian timur serta tebing-tebing bukit
Buntu Tabang, dengan keberadaan seperti ini membuat tongkonan nampak
megah serasi bersatu dengan alam disekitarnya.
Tongkonan Lingkasaile-Beloraya
Tongkonan
Lingkasaile adalah tongkonan yang pertama kali di daerah ini. Dibangun
di kawasan Desa Balusu, 14 Km dari Rantepao, pendirinya bernama Takke
Buku, keturunan Polo Padang dan Puang Gading. Tongkonan yang sudah
ditumbuhi tanaman paku diatapnya ini, masih menyimpan perabot rumah
tangga tempo dulu. Selain itu, tongkonan ini punya daya pikat khusus,
yaitu di percaya, bila kita lewat pasti ingin menolehnya kembali. Oieh
karena itulah tongkonan ini disebut dengan Lingkasaile-Beloraya, lingka
sendiri berarti langkah, sedangkan Beloraya berarti menoleh kembali.
Takke Buku memiliki/menyandang gelar Puang Takke Buku, beliau hidup
kurang lebih pada abad ke-10. Selain Tongkonan Lengkasaile yang
dibangun, ia juga membuat kuburan Bagi keluarganya yang disebut Liang
Sanda Madao dan Rante Tendan yang digunakan tempat upacara pemakaman.
Tongkonan Rantewai
Tongkonan
Rantewai atau Tongkonan Ranteuai, ini dibangun oleh sepasang suami
istri bernama To welai Langi'na dan Tasik Rante Manurun. Didirikan
sekitar abad XVII, Tongkonan ini memiliki simbol kepemimpinan, yakni
tergambar pada patung kayu yang berbentuk "kepala naga" sebanyak delapan
buah. Pada tahun 1917, Seluruhpeninggalan mengenai bukti perjuangan
dalam mempertahankan tanah air bisa kita dapatkan di rumah adat
Tongkonan Kollo-kollo ini.
Tongkonan Penanian
Suatu
nama yang manis, oleh karena "Penanian" dalam bahasa Toraja, berarti
sesuatu yang bermanfaat bagi semua orang, untuk dibaca dan dinyanyikan.
Tongkonan ini terletak sekitar 14 Km arah timur kota Rantepao. Tongkonan
Penanian mempunyai daya tarik keindahan tersendiri. Dengan menyajikan
pemandangan serta tata letak deretan lumbung padi atau Alangsura' yang
berjajar rapi dan antik. Lumbung-lumbung padi ini dibangun oleh Kepala
Distrik Nanggala bernama Siambe Salurapa' yang juga sebelumnya sebagai
pemangku adat dalam daerah Nanggala dan sekitarnya.
Tongkonan Layuk Pattan
Tongkonan
layuk pattan, terletak di desa ulusalu, sekitar 18 Km dari kota Makale.
Di bawah kepemimpinan Ma'dika, pemimpin tertinggi desa ini, para
generasi maupun leluhur desa senantiasa melaksanakan upacara adat rambu
tuka' atau ma'bua' ditongkonan tersebut. Selain itu, tongkonan Layuk
Pattan juga berfungsi sebagai tempat musyawarah aluk atau adat, yang
lebih dikenal dengan istilah tondok panglisan aluk, tempat pemerintahan
juga sebagai tempat pengadilan adat. Tongkonan Layuk Pattan didirikan
oleh Kala' pada kira-kira abad XIV, beragam peninggalan sejarah yang
dapat disaksikan disini. Selain Tau-tau berjumlah 130 buah, tempat
upacara adat Rante, monumen batu menhir, juga barang pusaka lainnya
seperti mawa', keris dan tombak. Desa ini juga dilengkapi dengan sebuah
Benteng yang kokoh, belum pernah terkalahkan oleh musuh pada jaman dulu
kala yaitu Benteng Boronan.
Perumahan Adat Palawa'
Dahuiu
kala ada seorang lelaki dari Gunung Sesean bernama "Tomadao"
berpetualang. Dalam petualangannya ia bertemu dengan seorang gadis dari
gunung Tibembeng bernama "Tallo' Mangka Kalena". Mereka kemudian menikah
dan bermukim disebelah timur "desa Palawa" dan sekarang ini bernama
Kulambu. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki bernama Datu
Muane' yang kemudian menikahi seorang wanita bernama Lai Rangri'.
Kemudian mereka beranak pinak dan mendirikan sebuah kampung yang
sekaligus berfungsi sebagai Benteng Pertahanan. Ada sebuah tradisi
disaat peperangan terjadi antar kampung/musuh, jika ada lawan yang
menyerang dan bisa dikalahkan atau dibunuh, maka darahnya diminum dan
dagingnya dicincang, tradisi ini disebut Pa'lawak. Pada pertengahan abad
XI, berdasarkan musyawarah adat disepakati, mengganti nama Pa' lawak
menjadi Palawa', sebagai suatu kompleks perumahan adat. Dan bukan lagi
daging manusia yang dimakan, tetapi diganti dengan ayam dan disebut
Palawa' manuk. Keturunan Datu Muane secara berturut-turut membangun
tongkonan di Palawa'. Sekarang ini terdapat 11 buah tongkonan (rumah
adat) yang urutannya sebagai berikut (dihitung mulai dari arah sebelah
barat):
- Tongkonan Salassa' dibangun oleh Salassa';
- Tongkonan Buntu dibangun oleh Ne'Tatan
- Tongkonan Ne'Niro dibangun olek Patangke dan Sampe Bungin
- Tongkonan Ne'Dane dibangun oleh Ne'Matasik
- Tongkonan Ne'Sapea dibangun oleh Ne'Sapeah
- Tongkonan Katile dibangun oleh Ne'Pipe
- Tongkonan Ne'Malle dibangun oleh Ne'Malle
- Tongkonan Sasana Budaya dibangun oleh Ne'Malle
- Tongkonan Bamba II dibangun oleh Patampang
- Tongkonan Ne'Babu dibangun oleh Ne'Babu'
- Tongkonan Bamba I dibangun oleh Ne'Ta'pare.
Tongkonan
Palawa' juga memiliki Rante yang disebut Rante Pa'padanunan dan Liang
Tua (Kuburan Batu) di Tiro Allo dan Kamandi, selain tongkonan juga
dibangun lumbung atau alang sura' tempat menyimpan padi.
Tongkonan Unnoni
Unnoni
artinya, "Berbunyi dan bergabung keseluruh penjuru". Nama ini membawa
nama harum bagi keturunan leluhur dari Tongkonan Unnoni, sebab beberapa
turunan dari tongkonan ini menjadi Kepala Distrik yang sekaligus
dilantik sebagai puang (golongan bangsawan tertinggi), di wilayah Sa'dan
Balisu desa paling utara Tana Toraja. Puang, sekaligus sebagai to
Parengnge' yakni sebagai pemimpin adat dan pemimpin rakyat. Turunan yang
berasal dari tongkonan Unnoni antara lain ne' Tongongan, Puang
ne'Menteng, Puang Bulo', Puang Pong Sitemme', Puang Ponglabba, Puang Ne'
Matandung dan terakhir Puang Duma'Bulo' . Tongkonan Unnoni melahirkan
atau erat hubunganya dengan Tongkonan Belo' Sa'dan,Tongkonan Rea,
Tongkonan Buntu Lobo' dan Tongkonan Pambalan. Generasi Tongkonan Unnoni
merupakan generasi yang
pandai menenun. Istri para pemimpin dari masing-masing Tongkonan inilah
yang memiliki ketrampilan menenun secara tradisional (tenun ukir). Cara
menenun ini, oleh istri pemimpin diajarkan pada rakyatnya, hingga
sekarang dan dapat dilestarikan. Proses menenun Tenun Paruki' inilah,
yang dipertontonkan di Tongkonan Unnoni, mulai dari cara merendam benang
sampai bisa jadi selembar kain tenun yang terukir cantik dan indah,
dalam ukiran motif Toraja melalui sembilan tahapan.
Tongkonan Layukna Galuga Dua dan Pertenunan Asli Sangkombang.
Tongkonan
Layukna Galuga Dua merupakan salah satu tongkonan yang dijadikan
pengadilan, selain digunakan untuk pengadilan terhadap pelanggaran adat
yang menjadi tanggung jawab To'Perengnge, juga merupakan pusat
musyawarah para pemimpin keluarga dari Tongkonan Galuga dua untuk
menentukan suatu rencana. Terletak sekitar 12 Km, arah utara dari
Rantepao, Tongkonan Layukna Puang Galuga Dua; ini dibangun pada tahun
1189 oleh kedua putra Galuga. Dari kedua putranya ini, masing-masing
membangun Tongkonan yaitu Tongkonan Papabannu' dari putra pertama dan
Banau Sura' dari putra keduanya. Tongkonan Layukna Galuga selain
tongkonan keluarga Galuga Dua juga merupakan pusat pertenunan dengan
bebagai motif sesuai dengan kebutuhan adat dan ciri khas budaya Toraja.
Macam-macam motif tenunan adalah: Tenunan Pamiring khusus untuk sarung
perempuan,Tenunan Sappa khusus untuk celana laki-laki, Tenunan Paramba'
khusus untuk selimut, Tenunan Paruki' khusus taplak meja dan dekorasi
atau hiasan dinding, tenunan Lando khusus tombi untuk pesta untuk pesta
rambu solo' atau sapu randanan.
To'Barana Sa'Dan dan Pertenunan Asli Toraja
Sa'dan
artinya air atau batang air, To'Barana artinya tempat beringin atau
pohon beringin, To' Barana merupakan tempat pengampunan masyarakat
Sa'dan dahulu kala apabila masyarakat menghadapi sesuatu kesulitan.
Lokasi To'Barana pada mulanya dibentuk oleh nenek moyang keluarga To
Barana yang bernama Langi' para'pak. Pada lokasi ini dijadikan
perkampungan tongkonan to'. Kemudian, tongkonan ini mengalami
renovasi/dibaharui oleh leluhur To'Barana' bernama Puang Pong Labba.
Kira- kira dua abad yang lalu dan kemudian mengalami renovasi lagi oleh
keluarga Puang Pong Padati pada tahun 1959.
Lokasi
dan rumah tongkonan yang diwariskan secara turun temurun kepada
generasinya ini selain sebagi tongkonan juga sebagi pusat pertenunan
asli Toraja. Para wanita di sini memiliki ketrampilan pandai menenun,
karena sejak kecil telah diajarkan oleh orang tuanya. Bahan baku dari
bahan tenunan asli di Sa'dan adalah benang kapas yang dipintal kemudian
ditenun, seiring dengan perkembangan jaman saat ini tenun sa'dan sudah
mulai menciptakan bemacam-macam motif tenun.
Perumahan asli BALIK SALUALLO SANGNGALLA',
Balik Saluallo, objek yang juga tidak ketinggalan memiliki beberapa
keunggulan atau keunikan tersendiri. Buburan sebagai tempat persembahan
masyarakat Toraja yang masih memeluk agama Aluk Todolo (Ancester
believe) dilokasi ini untuk memohon hujan pada saat musim kemarau dengan
melakukan persembahan pemotongan hewan.
Pata'
Padang; sebagai tempat awal bermusyawarah dan bermufakat bagi leluhur
Toraja (pemimpin-pemimpin) dari seluruh pelosok di daerah Tondok
Lelongan Bulan Tana Matarik Allo (Tana Toraja) untuk memutuskan/
menyatakan strategy melawan serangan dari luar daerah antara lain dari
Bone.
Pemimpinnya adalah seorang yang pintar, bijaksana, gagah berani, yang bernama "Tumbang Datu"sekilas
pintas otobiografi dari "Tumbang Datu", salah satu generasi dari
Tongkonan balik yang memiliki daya pikat tersendiri sebagai berikut:
Tumbang Datu sebagai koordinator dalam sejarah Topadatindo yang pernah
mengatur strategy untuk melawan musuh yang dating dari Bone. Dan Tumbang
Datu selalu berhasil mengalahkan lawannya. Temyata Tumbang Datu adalah
salah seorang leluhur dari Tongkonan Balik yang memiliki kharisma
tersendiri. Kepandaiannya dapat dibuktikan mengalahkan Datu Luwu
beberapa kali dalam kompetisi-kompetisi keterampilan seperti:
mempertandingkan ayam. Ayam siapa yang paling banyak berbunyi. Datu Luwu
menyiapkan ayam jantan besar, yang hanya sekali-sekali berbunyi. Sedang
Tumbang Datu menyiapkan anak-anak ayam yang baru dipisahkan dari
induknya. Ternyata ayam dari Tumbang Datu lebih banyak berbunyi dan
malah berbunyi terus menerus sangat ramai. Jadi Datu Luwu' merasa kalah.
Dan banyak lagi, cerita yang unik yang bisa anda dengar dan terima dari
objek wisata Tongkonan Balik Saluallo, yang bemilai kejujuran dan
keadilan.